Mengapa Masyarakat (Perlu) Menolak Kenaikan Harga BBM?
Penghapusan subsidi BBM adalah bagian dari agenda Konsensus Washington untuk
meliberalkan perekonomian Indonesia. Bersamaan dengan dilakukannya liberalisasi sektor
minyak dan gas sebagaimana terungkap dalam UU Minyak dan Gas No. 22/2001,
penghapusan subsidi BBM sesungguhnya adalah prakondisi bagi masuknya perusahaan-
perusahaan multinasional pertambangan minyak dan gas asing ke dalam bisnis eceran
minyak dan gas di Indonesia. Pendek kata, penghapusan subsidi BBM adalah bagian dari
proses sistematis untuk meminggirkan rakyat dan jalan lurus menuju neokolonialisme.
Pemberian subsidi BBM sama sekali tidak melenceng kepada golongan mampu dan orang
kaya. Sebaliknya, struktur perekonomian Indonesia lah sesungguhnya yang terlanjur
sangat timpang. Dalam struktur perekonomian yang sangat timpang, jangankan subsidi
BBM, subsidi pendidikan dan kesehatan, dan bahkan keberadaan pemerintah
sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh
golongan tidak mampu dan rakyat miskin. Apakah kita juga perlu berpikir untuk
membubarkan pemerintah?
Subsidi BBM sama sekali tidak dapat dikambinghitamkan sebagai penyebab defisit APBN.
Sebagaimana terungkap pada berbagai edisi Nota Keuangan, volume subsidi BBM
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun,
yaitu dari 4,7% PDB pada 2001, menjadi 1,9% PDB (2002) dan 0,7% PDB (2003 dan
2004). Defisit APBN terutama disebabkan oleh sangat besarnya beban angsuran pokok
dan bunga utang yang dipikul oleh pemerintah. Jumlahnya mencapai Rp145 triliun atau
sekitar sepertiga volume APBN. Selain itu, sejalan dengan naiknya peringkat Indonesia
sebagai negara juara korupsi, defisit APBN juga dipicu oleh sangat besarnya volume
pembocoran dan pemborosan APBN setiap tahunnya.
Kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan
sebagai alasan untuk menghapuskan subsidi BBM. Sebab, akibat kenaikan harga minyak
bumi di pasar internasional, pemerintah sesungguhnya menikmati rejeki nomplok yang
sangat besar jumlahnya. Sebagaimana tampak pada perbandingan ekpor dan impor migas
Indonesia tiga tahun terakhir: US$12,0 milyar dan US$6,0 milyar (2002), US$15,2 milyar
dan US$7,8 milyar (2003), US$19,6 milyar dan US$11,5 milyar (2004), hasil ekspor migas
Indonesia ternyata senantiasa lebih besar dari pengeluaran impor migas setiap tahunnya.
Penghapusan subsidi BBM dapat dipastikan akan memicu kenaikkan harga kebutuhan
pokok dan biaya hidup rakyat. Di tengah-tengah jumlah penduduk miskin yang masih
meliputi 60 persen penduduk, dan penganggur yang meliputi 36 persen angkatan kerja, hal
itu dapat dipastikan akan semakin memperberat beban hidup rakyat. Sementara itu,
sebagaimana tampak pada struktur APBN 2005 yang bersifat kontraktif, dan susunan tim
ekuin Kabinet Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para ekonom neoliberal pemuja IMF,
sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintah memang memiliki kesungguhan
dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
sumber: http://www.kau.or.id